Senin, 24 Januari 2011

KODE ETIK PROFESI AKUNTAN


Setelah melalui serangkaian proses yang relatif panjang dan lama, akhirnya pada Agustus 2008 Dewan Standar Profesional Akuntan Publik-Institut Akuntan Publik Indonesia (DSPAP-IAPI) berhasil menyelesaikan Eksposure Draft Kode Etik Profesi Akuntan Publik Indonesia yang baru. Eksposure Draft tersebut setelah mendapatkan tanggapan dan koreksi dari berbagai kalangan, pada Rapat Pleno Pengurus IAPI tanggal 14 Oktober 2008 disahkan menjadi Kode Etik yang baru dan akan dinyatakan efektif pada 1 Januari 2010.

Terdapat beberapa perbedaan antara draf Kode Etik dengan Kode Etik Akuntan Publik yang saat ini berlaku, 5 diantara perbedaan tersebut adalah:
  1. Jumlah paragrafnya. Pada draf Kode Etik yang baru tediri dari 266 paragraf (Par), sedangkan Kode Etik yang saat ini berlaku hanya 44 Paragraf
  2. Isi draf Kode Etik yang baru memuat banyak hal yang bersifat principle base, sedangkan Kode Etik yang saat ini berlaku banyak bersifat rule base. Sifat principle base ini selalu menjadi ciri dari pernyataan (pronoucements) standar yang diterbitkan oleh IFAC. Sifat yang sama juga dijumpai pada teks IFRS, maupun ISA.
  3. Draf Kode Etik mengharuskan Praktisi selalu menerapkan Kerangka Konseptual untuk mengidentifikasi ancaman (threat) terhadap kepatuhan pada prinsip dasar serta menerapkan pencegahan (safeguards). Pada Kode Etik yang saat ini berlaku tidak menguraikan masalah etika dengan sistimatika identifikasi ancaman dan pencegahan. Identifikasi ancaman dan penerapan pencegahan selalu disebutkan dalam bagian B Kode Etik, yaitu harus dilakukan ketika Praktisi terlibat dalam melakukan pekerjaan profesionalnya,
  4. Aturan etika mengenai independensi disajikan dengan sangat rinci. Seksi 290 mengenai Independensi memuat 162 Paragraf, padahal Kode Etik yang saat ini berlaku hanya 1 paragraf, yaitu pada Aturan Etika seksi 100.
  5. Dimasukkannya aturan mengenai Jaringan KAP dalam Kode Etik.
Draf Kode Etik terdiri dari 2 bagian yaitu, Bagian A memuat Prinsip Dasar Etika Profesi dan memberikan Kerangka Konseptual untuk penerapan prinsip, dan Bagian B memuat Aturan Etika Profesi yang memberikan ilustrasi mengenai penerapan kerangka konseptual pada situasi tertentu

Bagian A

1. Prinsip Dasar

Prinsip Dasar yang disajikan dalam Bagian A terdiri dari 5 prinsip, yaitu 
  1. Integritas
  2. ObjektivitaS
  3. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
  4. Kerahasiaan
  5. Perilaku Profesional.  

Sedangkan dalam Kode Etik yang saat ini berlaku terdiri dari 8 prinsip, yaitu : 
  1. Integritas, 
  2. Obyektivitas, 
  3. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional, 
  4. Kerahasiaan, 
  5. Perilaku Profesional, 
  6. Tanggung Jawab Profesi, 
  7. Kepentingan Publik, 
  8. Standar Profesi.
Adapun dalam Kerangka Konseptual yang tercantum dalam Bagian A, paragraf 100.6, ditetapkan kewajiban Praktisi untuk mengevaluasi setiap ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip dasar etika profesi ketika ia mengetahui, atau seharusnya dapat mengetahui, keadaan atau hubungan yang dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap prinsip dasar.

2. Ancaman & Pencegahan

Ancaman terhadap prinsip dasar sebagaimana dimaksud dalam Kode Etik ini diklasifikasikan menjadi 5 jenis ancaman, terdiri dari:
  1. Ancaman Kepentingan Pribadi
  2. Ancamaan Telaah Pribadi
  3. Ancaman Advokasi
  4. Ancaman Kedekatan
  5. Ancaman Intimidasi
Sedangkan pencegahan yang dapat menghilangkan ancaman tersebut, atau menguranginya ke tingkat yang dapat diterima diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: 1)Pencegahan yang dibuat oleh profesi, perundang-undangan, atau peraturan, dan 2) Pencegahan dalam lingkungan kerja.

Bagian B

Dalam bagian B draf Kode Etik, pencegahan yang dibahas adalah pencegahan dalam lingkungan kerja. Sedangkan pencegahan yang dibuat oleh profesi, perundang-undangan, atau peraturan cukup disebutkan dalam bagian A, paragraf 100.12.

Bagian B Kode Etik memuat Aturan Etika Profesi yang terdiri dari 10 seksi yang tersebar dalam 224 paragraf. Bagian B memberikan ilustrasi tentang penerapan kerangka konseptual dan contoh-contoh pencegahan yang diperlukan untuk mengatasi ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip dasar. Karena sifatnya contoh-contoh, maka untuk menghindari agar tidak keliru penafsirannya oleh Praktisi, maka pada paragraf 200.1 dijelaskan bahwa contoh-contoh yang diberikan dalam bagian B bukan merupakan daftar lengkap mengenai setiap situasi yang dihadapi Praktisi yang dapat menimbulkan ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip dasar. Oleh karena itu, tidak cukup bagi Praktisi untuk hanya mematuhi contoh-contoh yang diberikan, melainkan harus juga menerapkan kerangka konseptual dalam setiap situasi yang dihadapinya.

Pada bagian awal dari Bagian B, seksi 200, disebutkan 5 jenis ancaman, serta contoh-contoh dari ancaman tersebut. Kemudian diberikan contoh pencegahan dalam lingkungan kerja, yang dibedakan atas 1) Pencegahan pada tingkat institusi dalam lingkungan kerja, dan 2) Pencegahan pada tingkat perikatan dalam lingkungan kerja.. Contoh pencegahan tingkat institusi dalam lingkungan kerja antara lain a) Kepemimpinan KAP atau Jaringan KAP yang menekankan pentingnya kepatuhan pada prinsip dasar, b) Kepemimpinan KAP atau Jaringan KAP yang memastikan terjaganya tindakan untuk melindungi kepentingan publik oleh anggota tim assurance, dan c) Kebijakan dan prosedur untuk menerapkan dan memantau pengendalian mutu perikatan. Contoh pencegahan tingkat perikatan dalam lingkungan kerja antara lain: a) Melibatkan praktisi lainnya untuk menelaah hasil pekerjaan yang telah dilakukan atau untuk memberikan saran yang diperlukan, b) Melakukan konsultasi dengan pihak ketiga yang independen, seperti komisaris independen, organisasi profesi, atau praktisi lainnya, dan c) Melibatkan KAP atau jaringan KAP lain untuk melakukan atau mengerjakan kembali suatu bagian dari perikatan. Dalam hal pencegahan ini, mungkin saja klien sudah memiliki sistim pencegahan sendiri, misalnya a) Pihak dalam organisasi klien selain manajemen meratifikasi atau menyetujui penunjukkan KAP atau jaringan KAP, b) Klien memiliki karyawan yang kompeten dengan pengalaman dan senioritas yang memadai. Dalam hal demikian Praktisi dapat mengandalkan pada sistim pencegahan klien, namun demikian tidak boleh hanya mengandalkan pada pencegahan klien tersebut.